Saturday 7 March 2015

KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHAHHAH
(Paham-paham yang Harus Diluruskan)
Oleh:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki
 

 
Dalil yang menunjukkan diperbolehkan menisbatkan hal-hal di muka dan relevansinya adalah bahwa Allah Subhaanahu wa ta’aala sendiri kadang menisbatkan tindakan kepada para malaikat dan terkadang kepada yang lain dan terkadang menisbatkannya kepada diri-Nya sendiri. 
Allah SWT berfirman yang artinya :
Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk ( mencabut nyawa )mu akan mematikanmu.” ( Q.S. As-Sajdah : 11 )
“Allah memegang jiwa ( seseorang ) ketika matinya.” ( Q.S. Az-Zumar :42 )
“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam.” ( Q.S. Al-Waqi`ah : 63 ) dengan dinisbatkan kepada mereka: 25. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit),
26. Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya,
27. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu. ( Q.S.`Abasa : 25-27 )
“Lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.” (Q.S. Maryam : 17)
” Lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh) nya ruh dari Kami dan Kami jadikan Dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiyaa` : 91).  Nafkh (tiupan) disandarkan kepada Allah padahal yang meniup sesungguhnya adalah Jibril alaihissalaam.
Allah berfirman yang Artinya: “Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”  (Q.S.Al.Qiyaamah : 18) padahal pembaca Al-Qur’an yang didengar bacaannya oleh Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam adalah Jibril ‘alaihissalaam.

Allah Subhaanahu wa ta’aala berfirman yang artinya :
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (Q.S. Al-Anfaal : 17) Allah meniadakan tindakan pembunuhan dari mereka dan menetapkan tindakan itu kepada diri-Nya dan menafikan tindakan pelemparan darinya lalu menyandarkannya kepada diri-Nya.
Maksud dari ayat bukan berarti menafikan fakta kasat mata tindakan mereka membunuh orang-orang kafir dan menafikan tindakan Nabi melempari mereka dengan kerikil. Namun maksudnya adalah bahwa mereka tidak membunuh dan melempar dalam pengertian sebagaimana Allah membunuh dan melempar yaitu penciptaan dan kepastian. Sebab kedua pengertian ini adalah dua makna yang memiliki arti berbeda.
Insya’ Alloh bersambung. Semoga bermanfaat.
 
Sumber : https://jundumuhammad.wordpress.com
KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHAHHAH
(Paham-paham yang Harus Diluruskan)
Oleh:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki




PERBEDAAN ARTI AKIBAT PERBEDAAAN NISBAT LAFADH

Barangkali Anda berkata : Tidaklah rasional menisbatkan satu tindakan kepada dua pelaku karena mustahil berkumpulnya dua hal yang mampu memberikan pengaruh kepada satu obyek yang terkena pengaruh. Kami jawab, “Benar pandangan kalian. Namun konteksnya jika pelaku hanya memiliki satu pengertian dalam penggunaannya”.
Tapi jika pelaku memiliki dua pengertian maka kalimat tersebut ada kemungkinan digunakan untuk salah satunya. Kalau demikian tidak boleh kalimat itu digunakan untuk kedua-duanya sebagaimana telah diketahui dalam penggunaan kalimat yang memiliki lebih dari satu pengertian (musytarak /ambigu) atau hakikat dan majaz sebagaimana ungkapan: Pemimpin membunuh si fulan dan ungkapan: Si fulan dibunuh oleh algojo. Kata membunuh yang dinisbatkan kepada pemimpin memiliki pengertian yang berbeda dengan kata yang sama yang dinisbatkan kepada algojo. Maka ungkapan kita: Allah adalah pelaku dengan pengertian Dia adalah pencipta yang membuat sesuatu menjadi ada, dan ungkapan kita: Sesungguhnya makhluk adalah pelaku, artinya adalah bahwa makhluk adalah obyek yang Allah ciptakan padanya kemampuan setelah menciptakan padanya kehendak dan pengetahuan.
 
Maka berarti hubungan qudrah dengan iradah serta gerakan dengan qudrah adalah hubungan kausalitas dan yang diciptakan dengan yang menciptakan. Hubungan semacam ini berlaku jika obyeknya adalah makhluk berakal. Namun jika tidak berakal ia termasuk kategori mengaitkan yang di-sebab-i atas yang menjadi penyebab.
Berarti sah-sah saja menyebut setiap hal yang memiliki kaitan dengan qudrah sebagai Fa’il (pelaku) bagaimanapun bentuk kaitannya. Sebagaimana algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh dengan memandang dari sudut masing-masing. Karena pembunuhan berkaitan dengan keduanya. Meskipun pembunuhan dilihat dari dua sisi pandang berbeda namun masing-masing algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh. Demikian pula dalam hal menilai obyek-obyek dari qudrat dengan dua qudrat.
Keterangan:
Sub bab PERBEDAAN ARTI AKIBAT PERBEDAAAN NISBAT LAFADH ini cukup panjang, maka dari itu saya mohon maaf kalau tulisannya saya bagi, dengan harapan memudahkan di dalam menangkap maksudnya.
Semoga Bermanfaat..

KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHAHHAH
(Paham-paham yang Harus Diluruskan)
Oleh:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki
 

ESENSI MENISBATKAN TINDAKAN KEPADA PARA HAMBA

Berangkat dari keterkaitan qudrah di atas jelaslah bahwa keterkaitan qudrah tidak hanya dengan terjadinya al-maqdur lewat sifat ini. Hubungan tindakan makhluk dengan mereka sendiri dengan cara mengerjakan bukan penciptaan. Karena Allah yang menciptakan, mentakdirkan dan menghendakinya. Tidak perlu dipersoalkan bagaimana Allah menghendaki apa yang Dia larang, karena perintah berbeda dengan kehendak dengan bukti Allah menyuruh semua manusia untuk beriman namun Allah tidak menghendaki semuanya beriman. Hal ini berdasarkan firman Allah yang artinya : “Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya.” ( Q.S.Yusuf : 103 ) 
 
Penisbatan tindakan kepada makhluk masuk kategori penisbatan musabbab (Obyek yang terkena pengaruh sebab) kepada sabab (penyebab) atau wasithah (perantara). Hal ini bukanlah sebuah kontradiksi karena yang menjadi penyebab dari segala sebab adalah pencipta washithah yang menciptakan makna keperantaraan kepada washithah. Seandainya Allah tidak memberi makna keperantaraan terhadap segala sebab maka segala sebab itu tidak layak menjadi washithah baik sebab yang tidak diberi akal oleh Allah seperti benda mati, cakrawala, hujan dan api atau sebab yang berakal seperti malaikat, manusia, atau jin.
Semoga bermanfaat.

 

KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHAHHAH
(Paham-paham yang Harus Diluruskan)
Oleh:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki
 

URGENSI MENETAPKAN KAITAN (NISBAT) DALAM MENETAPKAN BATASAN KUFUR DAN IMAN

Beberapa kelompok sesat hanya menggunakan pendekatan tekstual tanpa melibatkan indikasi-indikasi dan tujuan-tujuan serta tidak menggunakan titik temu yang bisa menghindari kontradiksi antar dalil-dalil yang ada seperti kelompok yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dengan menggunakan argumentasi firman Allah yang artinya :
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab.”( Q.S.Az.Zukhruuf : 3 ), 
kelompok Qadariyyah  yang menggunakan ayat yang Artinya :
“Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.”( Q.S.As.Syuuraa : 20 )
dan ayat:

بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Apa yang telah kamu kerjakan.”( Q.S.Yunus : 23 )
Kelompok Jabariyah yang berpegang teguh dengan ayat :

وَالله خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Q.S.Ash.Shaaffaat : 96)

وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلكِن الله رَمَى

“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.”( Q.S.Al.Anfaal : 17 )
Untuk menyingkap maksud dari firman Allah di muka bahwa sesungguhnya semua kelompok ummat Islam diluar kelompok Qadariyyah meyakini bahwa semua tindakan para hamba adalah diciptakan Allah Subhaanahu wa ta’aala berdasarkan ayat والله خلقكم وما تعملون dan ayat وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى meskipun tindakan itu bisa dilekatkan kepada hamba dengan menggunakan pendekatan lain yang disebut iktisab (bekerja)  seperti dalam firman Allah :

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

“Ia mendapat pahala ( dari kebajikan ) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa ( dari kejahatan ) yang dikerjakannya.”( Q.S.Al.Baqarah : 286 )
dan firman Allah Subhaanahu wa ta’aala:
“Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.”( Q.S.As.Syuuraa : 20 )
dan ayat-ayat lain yang menunjukkan penyandaran kerja kepada hamba.
 
Keterkaitan qudrah dengan almaqdur ( obyek dari sifat qudrah ) tidak harus melalui penciptaan semata karena qudrah Allah pada masa azali berkaitan dengan alam sebelum Allah menciptakannya. Dan qudrah Allah ketika menciptakan alam berkaitan dengan alam dalam corak keterkaitan lain.
Semoga bermanfaat. 

KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHAHHAH
(Paham-paham yang Harus Diluruskan)
Oleh:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki
 

MAJAZ ‘AQLI DAN PENGGUNAANNYA

Tidak disangsikan lagi bahwa majaz ‘aqli digunakan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Diantaranya yang artinya: “Dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya).” ( Q.S.Al.Anfaal : 2 )Penyandaran kalimat ziyadah ke kalimat aayaat adalah majaz ‘aqli. Karena ayat adalah penyebab bertambah sedang yang menambah sesungguhnya adalah Allah Subhaanahu wa ta’aala.

Allah Subhaanahu wa ta’aala  berfirman:
“Hari yang menjadikan anak-anak beruban.” ( Q.S.Al.Muzzammil :17 )
Penyandaran kata Ja’ala pada pada alyaum adalah majaz ‘aqli. Karena Al-Yaum adalah tempat mereka menjadi beruban. Kejadian tersebut tercipta pada Al-Yaum sedang yang menjadikan sesungguhnya adalah Allah Subhaanahu wa ta’aala.
Firman Allah Subhaanahu wa ta’aala:
“Dan jangan pula suwwa`, yaghuts, ya`uq dan nasr. Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan ( manusia ).”( Q.S.Nuh : 23-24 )
Penyandaran Idlal pada Ashnam adalah majaz ‘aqli karena ashnam adalah penyebab terjadinya idlal sedang yang memberi petunjuk dan yang menyesatkan hakikatnya Allah Subhaanahu wa ta’aala semata.
Firman Allah mengisahkan Fir’aun yang artinya : “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang Tinggi.” (Q.S.Al-Mu`min : 36)
Penyandaran Al-Binaa kepada Haman adalah majaz ‘aqli karena Haman cuma penyebab. Ia hanya pemberi perintah tidak membangun sendiri. Yang membangun adalah para pekerja.
 
Adapun keberadaaan majaz ‘aqli dalam hadits maka di dalamnya terdapat jumlah yang banyak yang diketahui oleh orang yang mau mengkajinya. Para ulama berkata : Terlontarnya penyandaran di atas dari orang yang mengesakan Allah cukup menjadikannya dikategorikan sebagai penyandaran majazi karena keyakinan yang benar adalah bahwa pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka adalah Allah semata. Allah adalah pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka. Tidak ada yang bisa memberikan pengaruh kecuali Allah. Orang hidup atau orang mati tidak bisa memberi pengaruh apapun. Keyakinan semacam ini adalah tauhid yang murni. Berbeda kalau memiliki keyakinan yang berlawanan. Maka ia bisa jatuh dalam kemusyrikan.
Semoga bermanfaat.


 
KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHAHHAH
(Paham-paham yang Harus Diluruskan)
Oleh:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki
 

ASPEK-ASPEK YANG SAMA ANTARA STATUS KHALIQ DAN MAKHLUQ TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KESUCIAN ALLAH

Banyak orang keliru dalam memahami sebagian aspek-aspek yang sama antara status Khaliq dan makhluq. Mereka menganggap bahwa menisbatkan aspek-aspek di atas kepada status makhluk adalah menyekutukan Allah.

Diantara aspek-aspek di atas adalah seperti sifat-sifat khusus kenabian yang salah dipahami oleh sebagaian orang dan menganalogikannya dengan analogi kemanusiaan. Karena itu mereka menilai terlalu berlebihan bila aspek-aspek tersebut disandarkan kepada Rasulullah. Mereka menilai bahwa menisbatkan aspek-aspek itu kepada Rasulullah berarti mensifati beliau dengan sebagian sifat-sifat ketuhanan.
Pandangan ini adalah sebuah kebodohan murni. Karena Allah Subhaanahu wa ta’aala bebas memberi siapa saja dan sesuai kehendak-Nya tanpa ada tekanan yang mengharuskan. Tapi semata-mata karunia-Nya kepada orang yang hendak Dia muliakan, Dia tinggikan derajat dan hendak ditonjolkan kelebihannya atas orang lain. Hal ini bukan berarti melepas hak-hak dan sifat-sifat ketuhanan. Hak-hak sifat-sifat ketuhanan tetap terpelihara sesuai dengan kedudukan Allah Subhaanahu wa ta’aala. Jika ada makhluk yang memiliki salah satu dari hak atau sifat ketuhanan maka harus disesuaikan dengan kondisi kemanusiaan, yaitu harus terbatasi dan diperoleh lewat izin, anugerah, dan kehendak Allah. Bukan karena kekuatan makhluk, rencana dan perintahnya. Karena manusia adalah makhluk lemah yang tidak mampu menimpakan bahaya, memberi manfaat, kematian , kehidupan dan kebangkitan dari kubur untuk dirinya sendiri. Banyak hal-hal yang dalil yang menunjukkanya sebagai hak Allah, namun Allah Subhaanahu wa ta’aala memberikannya kepada Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam dan orang lain.
Berangkat dari penjelasan di atas, pensifatan Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam dengan hal-hal di atas tidak meninggikannya sampai ke derajat ketuhanan atau menjadikan beliau sebagai sekutu bagi Allah Subhaanahu wa ta’aala. Di antara aspek-aspek di atas adalah : Syafaat; syafaat adalah milik Allah. Allah berfirman yang Artinya : Katakanlah: “Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.” ( Q.S.Az.Zumar : 44 )
Namun syafaat juga dimiliki oleh Rasul Shollallaah ‘alaih wa sallam dan orang lain atas kehendak Allah seperti terdapat dalam sebuah hadits :

أنا أول شافع ومشفع

“Saya dikaruniai syafaat, dan Saya adalah orang pertama yang memberi syafaat dan diterima syafaatnya.”
Mengetahui hal-hal ghaib adalah milik Allah. Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”.( Q.S.An.Naml : 65 )
Namun terdapat dalil yang menunjukkan Allah menginformasikan kepada Nabi hal-hal gaib: 26. (dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.27. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya Dia Mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.
Hidayah; hidayah khusus milik Allah. Allah berfirman yang artinya :Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. ( Q.S.Al.Qashash : 56 )
Tapi terdapat ayat yang menjelaskan bahwa Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam  juga bisa memberi hidayah. Allah berfirman :

وإنك لتهدى إلى صراط مستقيم

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. “( Q.S.Asy Syuura : 52 )

Hidayah yang terdapat dalam ayat pertama berbeda dengan hidayah dalam ayat kedua. Perbedaan ini hanya dapat dipahami oleh kaum mu’minin yang memiliki kemampuan berfikir yang baik yang mampu membedakan status Khaliq dan makhluk. Jika pengertian hidayah disamakan niscaya Allah perlu mengatakan “Sesungguhnya engkau memberi hidayah yang berupa bimbingan, atau sesungguhnya engkau memberi hidayah tapi bukan seperti hidayah-Ku.”
Tapi kedua ungkapan ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Malah Allah membiarkan lafadz hidayah tanpa keterangan apapun. Karena orang yang mengesakan Allah dari kaum muslimin bisa memahami kata-kata dan mengerti perbedaan indikasi dari kata-kata tersebut menyangkut apa yang disandarkan kepada Allah dan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam. Masalah ini sama dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an yang memberi sifat Rasul dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah saat Allah berfirman yang Artinya: Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. Dan Allah Subhaanahu wa ta’aala  juga mensifati diri-Nya dengan dua sifat di atas dalam banyak ayat.
Sudah umum diketahui bahwa Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat kedua berbeda arti dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat pertama. Waktu Allah mensifati Nabi-Nya dengan kedua sifat tersebut Dia mensifatinya tanpa embel-embel apapun. Karena orang yang dikhithabi yang seorang mu’min yang mengesakan Allah mengerti perbedaan antara Khaliq dan makhluk.
Seandainya tidak demikian, Allah perlu mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah yang berbeda dengan ra’fah-Ku, dan rahiim dengan rahmat yang berbeda dengan rahmat-Ku, atau mengatakan Ra’uuf dengan rahmat tertentu dan Rahiim dengan rahmat tertentu, atau bisa juga mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah kemanusiaan dan rahiim dengan rahmat kemanusiaan.
Namun semua ini ternyata tidak ada. Malah Allah memberi Nabi sifat ra’fah dan rahmat tanpa menambahkan penjelasan apapun.
Semoga bermanfaat.
 
 
KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHAHHAH
(Paham-paham yang Harus Diluruskan)
Oleh:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki


STATUS KHALIQ DAN STATUS MAKHLUQ

Perbedaan antara status Khaliq dan makhluq adalah garis pemisah antara kufur dan iman. Kami meyakini bahwa orang mencampur-adukkan kedua status ini berarti dia telah kafir. Wal ‘iyadzu billah.
Masing-masing dari kedua status di atas memiliki hak-hak spesifik. Namun, dalam masalah ini masih ada hal-hal, khususnya yang berkaitan dengan Nabi dan sifat-sifat eksklusif beliau yang membedakan dengan manusia biasa dan membuat beliau lebih tinggi dari mereka. Hal-hal seperti ini kadang tidak dimengerti oleh sebagian orang yang memiliki keterbatasan akal, pemikiran, pandangan dan pemahaman. Kelompok ini mudah terburu-buru memvonis kafir terhadap mereka yang mengapresiasi hal-hal tersebut dan mengeluarkan mereka dari agama Islam karena menurut kelompok ini menetapkan sifat-sifat khusus untuk Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam adalah mencampuradukkan antara status Khaliq dan makhluq serta mengangkat status Nabi dalam status ketuhanan. Kami sungguh memohon ampun kepada Allah dari tindakan mencampur-adukkan seperti ini.
Berkat karunia Allah kami mengetahui apa yang wajib bagi Allah dan Rasul serta mengetahui apa yang murni hak Allah dan yang murni hak rasul secara proporsional tidak melampaui batas sampai memberi beliau sifat-sifat khusus ketuhanan yaitu menolak dan memberi, memberi manfaat dan bahaya secara independen (di luar kehendak Allah), kekuasaan yang sempurna dan komprehensif, menciptakan, memiliki, mengatur, satu-satunya yang memiliki kesempurnaan, keagungan dan kesucian dan satu-satunya yang berhak untuk dijadikan obyek beribadah dengan beragam bentuk, cara dan tingkatannya.
Seandainya yang dianggap melampaui batas adalah berlebihan dalam mencintai, taat dan keterikatan dengan beliau maka hal ini adalah sikap yang terpuji dan dianjurkan sebagaimana dalam sebuah hadits :

لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم

“Janganlah kalian mengkultuskanku sebagaimana kaum Nashrani mengkultuskan Isa ibn Maryam”.

Maksud dari hadits tersebut berarti bahwa sanjungan, berlebih-lebihan dan memuji beliau di bawah batas di atas adalah tindakan terpuji. Seandainya maksud hadits tidak seperti ini berarti yang dimaksud adalah larangan untuk memberikan sanjungan dan memuji secara mutlak. Pandangan ini jelas tidak akan diucapkan oleh orang Islam paling bodoh sekalipun. Wajib bagi kita memuliakan orang yang dimuliakan Allah dan diperintahkan untuk memuliakannya. Betul, memang kita wajib untuk tidak mensifati Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam dengan sifat-sifat ketuhanan apapun. Imam Al-Bushoiri Rahimahullaah berkata :

دع ما ادعته النصارى في نبيهم واحكم بما شئت مدحا فيه واحتكم

Jauhilah klaim Nashrani akan Nabi mereka
Berilah beliau pujian sesukamu dengan bahasa yang baik

Memuliakan Nabi Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam tidak dengan sifat-sifat ketuhanan sama sekali bukan dikategorikan kufur atau kemusyrikan. Malah diklasifikasikan sebagai salah satu ketaatan dan ibadah yang besar. Demikian pula setiap orang yang dimuliakan Allah seperti para Nabi, rasul, malaikat, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Allah berfirman yang Artinya : Demikianlah ( perintah Allah ). dan Barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari Ketakwaan hati.( Q.S. Al.Hajj : 32 )
Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.(Q.S.Al.Hajj : 30 )
Diantara obyek yang wajib dimuliakan adalah Ka’bah, Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim. Ketiga benda ini adalah batu namun Allah memerintahkan kita untuk memuliakannya dengan thawaf pada Ka’bah, mengusap Rukun Yamani, mencium Hajar Aswad, sholat di belakang maqam Ibrahim, dan wukuf untuk berdoa di dekat Mustajar, pintu Ka’bah dan Multazam. Tindakan kita terhadap benda-benda di muka bukan berarti beribadah kepada selain Allah dan meyakini pengaruh, manfaat, dan bahaya berasal dari selain-Nya. Semua hal ini tidak akan terjadi dari siapapun kecuali Allah Subhaanahu wa ta’aala.

STATUS MAKHLUQ

Kami meyakini bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam adalah manusia yang bisa mengalami apa yang dialami manusia umumnya seperti sifat-sifat yang temporal dan penyakit-penyakit yang tidak mengurangi kedudukan beliau dan tidak membuat beliau dijauhi. Sebagaimana dikatakan oleh penyusun ‘Aqidatul ‘Awam :

و جائز في حقهم من عرض بغير نقص كخفيف المرض

Para rasul boleh mengalami sifat-sifat yang temporer yang tidak mengurangi kedudukan mereka seperti sakit ringan Rasulullah juga adalah seorang hamba yang tidak memiliki kemampuan memberi manfaat, bahaya, mati, hidup membangkitkan kepada dirinya sendiri kecuali apa yang telah dikehendaki Allah. Firman Allah yang Artinya: Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. dan Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”.( Q.S.Al.A`raaf :188 )
Dan sesungguhnya Beliau Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam juga telah mengemban risalah, menyampaikan amanah, menyadarkan ummat, membuang kesedihan dan berjihad fi sabilillah sampai ajal menjemputnya. Beliau berpulang ke sisi Allah dalam kondisi ridlo dan mendapat keridloan, seperti digambarkan dalam firman Allah yang Artinya : “Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati ( pula ).” ( Q.S.Az.Zumar : 30 )
Dan firman Allah yang lain:”Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); Maka Jikalau kamu mati, Apakah mereka akan kekal ?” ( Q.S.Al.Anbiyaa` : 34 )
Kehambaan adalah sifat beliau yang paling mulia. Karena itu beliau membanggakannya dan berkata : “Saya hanyalah seorang hamba”. Allah menyifati beliau dengan kehambaan dalam kedudukan tertinggi : Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda ( kebesaran ) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. ( Q.S.Al.Israa : 1 )
“Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya.”( Q.S.Al.Jin : 19 )
Kemanusiaan adalah letak sesungguhnya kemu’jizatan Rasulullah. Beliau adalah manusia dari jenis manusia namun berbeda dengan manusia biasa. Beliau memiliki perbedaan yang tidak mungkin dikejar atau disamakan dengan manusia biasa. Sebagaimana penilaian beliau tentang dirinya :

إنّي لست كهيئتكم إنّي أبيت عند ربي يطعمني و يسقيني

“Saya tidak sama dengan kalian. Sesungguhnya saya bermalam di sisi Allah diberi kekuatan sebagaimana orang yang makan dan minum”.
Berdasarkan paparan di atas maka jelaslah bahwa status kemanusian beliau wajib disertai dengan sifat-sifat yang membedakannya dengan manusia umumnya yaitu menyebut keistimewaan-keistimewaan beliau yang eksklusif dan sifat-sifat beliau yang terpuji. Perlakuan ini bukan hanya diberikan khusus untuk Nabi Muhammad Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam namun juga berlaku untuk rasul-rasul yang lain agar penilaian kita kepada mereka proporsional. Karena penilaian kepada para rasul semata-mata dipandang dari sisi kemanusiaan saja tanpa penilaian lain adalah pandangan jahiliyah yang musyrik. Dalam Al-Qur’an terdapat banyak dalil mengenai masalah ini. Diantaranya adalah :
- Ucapan kaum Nuh terhadap Nabi Nuh dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka yang Artinya : Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu, melainkan ( sebagai ) seorang manusia ( biasa ) seperti Kami, dan Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami yang lekas percaya saja, dan Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas Kami, bahkan Kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”.(Hud : 27).
- Ucapan kaum Nabi Musa dan Harun terhadap mereka berdua dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka yang artinya : Dan mereka berkata: “Apakah ( patut ) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), Padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?” ( Al-Mu’minun : 47 ).
- Ucapan kaum Tsamud kepada Nabi mereka Shalih dalam peristiwa yang diceritakan Allah tentang mereka yang artinya, : ( Asy-Syu’araa’ : 154 ).”Kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti kami; Maka datangkanlah sesuatu mukjizat, jika kamu memang Termasuk orang-orang yang benar”.
- Ucapan Penduduk Aikah kepada Nabi mereka Syu’aib dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka yang artinya : ( Asy-Syu’araa; : 186 ). 185. Mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang kena sihir,”186. “Dan kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti Kami, dan Sesungguhnya Kami yakin bahwa kamu benar-benar Termasuk orang-orang yang berdusta.”
- Ucapan kaum musyrikin terhadap Nabi Muhammad Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam yang memandang beliau semata-mata sebagai manusia dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka :
Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar ? mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?” (Q.S.Al.Furqaan : 7)
Nabi telah menginformasikan status dirinya dengan benar akan sifat-sifat luhur dan hal-hal yang melampaui kebiasaan yang membuatnya berbeda dengan manusia lain.
– Sabda beliau dalam sebuah hadits shahih :

تنام عيناي ولا ينام قلبي

“Kedua mataku terpejam namun hatiku tetap terjaga”.

إنّي أراكم من وراء ظهري كما أراكم من أمامي

“Saya mampu melihat kalian dari belakangku sebagaimana melihatmu dari depan”.

أوتيت مفاتيح خزائن الأرض

“Saya dianugerahi pintu-pintu gudang dunia”.

Meskipun telah wafat, Rasulullah tetap hidup dalam bentuk kehidupan barzakh yang sempurna. Beliau mampu mendengar perkataan, membalas salam dan shalawat orang yang bershalawat sampai kepada beliau. Amal perbuatan ummat disampaikan kepada beliau hingga beliau berbahagia atas perbuatan orang-orang yang baik dan beristighfar terhadap orang-orang yang melakukan dosa. Allah juga mengharamkan bumi untuk memakan jasadnya. Jasad Nabi terlindungi dari hal-hal yang bersifat merusak dan dari apapun yang berada dalam tanah.
Dari Aus ibn Aus Radhiyallaah ‘anhu , ia berkata , “Rasulullah Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda :

من أفضل أيامكم يوم الجمعة : فيه خلق آدم , وفيه قبض , وفيه النفخة , وفيه الصعقة , فأكثروا عليّ من الصلاة فيه , فان صلاتكم معروضة عليّ , قالوا : يارسول الله ! وكيف تعرض صلاتنا عليك وقد أرمت يعني بليت ؟ فقال : إنّ الله عزّ وجلّ حرم على الأرض أن تأكل أجساد الأنبياء

“Salah satu hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at ; di hari itu Adam diciptakan dan wafat, Israfil meniup sangkakala dan matinya seluruh makhluk. Maka perbanyaklah bershalawat untukku pada hari Jum’at. Karena shalawat kalian disampaikan kepadaku”. Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami sampai kepadamu padahal tubuhmu telah hancur?” tanya para sahabat. “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” Jawab Rasulullah. ( HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ibn Hibban dalam kitab shahihnya serta Al-Hakim yang menilai hadits ini shahih ).

Menyangkut keutuhan jasad para Nabi , Al-Hafidh Jalaluddin As-Suyuthi menyusun sebuah risalah khusus menyangkut hal tersebut yang berjudul ‘Inbaa’ul Adzkiyaa’ bi Hayaatil Anbiyaa’.
Dari ibnu Mas’ud Rasulullah Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda :

حياتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , فإذا أنا مت كانت وفاتي خيرا لكم تعرض عليّ أعمالكم فان رأيت خيرا حمدت لله وإن رأيت شرا استغفرت لكم

“Hidupku lebih baik buat kalian. Kalian berbicara dan saya berbicara kepada kalian. Dan jika saya meninggal dunia maka kewafatanku lebih baik buat kalian. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku melihat amal baik aku memuji Allah dan jika aku melihat amal buruk aku beristighfar buat kalian”. Kata Al-Haitsami , “Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan standar perawi hadits shahih.
Dari Abi Hurairah radhiyallah ‘anhu dari Rasulullah Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam, beliau berkata :

ما من أحد يسلم عليّ إلاّ ردّ الله عليّ روحي حتّى أرد عليه السلام

( رواه أحمد وأبو داود )

“ Tidak ada seorangpun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan nyawaku hingga aku membalas salamnya”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Sebagian ulama menafsirkannya dengan mengembalikan kemampuan berbicara beliau. Dari ‘Ammar ibn Yaasir, ia berkata, “Rasulullah Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda :

إنّ الله وكل بقبري ملكا أعطاه الله أسماء الخلائق , فلا يصلّي عليّ أحد إلى يوم القيامة إلاّ أبلغني باسمه واسم أبيه , هذا فلان بن فلان قد صلى عليك

“Sesungguhnya Allah Subhaanahu wa ta’aala mewakilkan seorang malaikat yang diberi Allah nama semua makhluk pada kuburanku. Maka tidak ada seorang pun hingga hari kiamat yang menyampaikan shalawat untukku kecuali malaikat itu menyampaikan kepadaku namanya dan nama ayahnya ; ini adalah si fulan anak si fulan yang telah menyampaikan shalawat untukmu”.(HR. Al-Bazzaar)
Dan Abu al-Syaikh ibn Hibban yang redaksinya : Rasulullah Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda :

إنّ الله تبارك وتعالى ملكا أعطاه الله أسماء الخلائق فهو قائم على قبري إذا مت , فليس أحد يصليّ عليّ إلاّ قال : يا محمد! صلى عليك فلان بن فلان , قال : فيصليّ الرب تبارك وتعالى على ذلك الرجل بكل واحدة عشرا

“Sesungguhnya ada malaikat Allah yang telah diberi semua nama makhluk oleh Allah. Ia berdiri di atas kuburanku jika aku meninggal. Maka tidak ada seorang pun yang menyampaikan shalawat kepadaku kecuali si malaikat berkata, “Wahai Muhammad!  Fulan anak fulan telah menyampaikan shalawat untukmu”. Rasulullah berkata, “ar-Rabb Tabaraka wa Ta’ala merahmatinya. Untuk satu shalawat dibalas 10 rahmat”.
(Dalam Al-Kabiir Al-Thabaraani meriwayatkan hadits seperti ini).

Meskipun Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam telah wafat namun keutamaan, kedudukan dan derajat beliau di sisi Allah tetap abadi. Mereka yang beriman tidak akan ragu akan fakta ini. Karena itu, bertawassul kepada Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam pada dasarnya kembali kepada keyakinan keberadaan hal-hal di muka dan meyakini beliau dicintai dan dimuliakan Allah serta keimanan kepada beliau dan kepada risalahnya. Dan tawassul bukanlah berarti beribadah kepada Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam. Karena beliau betapapun tinggi derajat dan kedudukannya tetaplah seorang makhluk yang tidak mampu menolak bahaya dan memberi manfaat tanpa izin Allah.  Allah Subhaanahu wa ta’aala berfirman yang artinya, : Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. ( Q.S.Al.Kahfi : 110 )
Semoga bermanfaat.

KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHAHHAH
(Paham-paham yang Harus Diluruskan)
Oleh:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki
 


SIKAP SYAIKH MUHAMMAD IBN ‘ABDUL WAHHAB MENYANGKUT  TAKFIR

Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab Rahimahullah memiliki sikap mulia dalam hal pentakfiran. Sebuah sikap yang dipandang aneh oleh mereka yang mengklaim sebagai pendukungnya kemudian memvonis kafir secara serampangan terhadap siapapun yang berbeda jalan dan menolak pemikiran mereka. Padahal Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab sendiri menolak semua pandangan-pandangan tak berharga yang dialamatkan kepadanya. Dalam sebuah risalah yang dikirimkannya kepada penduduk Qashim pada bahasan tentang aqidah ia menulis sebagai berikut :
Telah jelas bagi kalian bahwa telah sampai kepadaku berita mengenai risalah Sulaiman ibn Suhaim yang telah sampai kepada kalian dan bahwa sebagian ulama didaerah kalian menerima dan membenarkan isi risalah tersebut. Allah mengetahui bahwa Sulaiman ibn Suhaim mengada-ada atas nama saya ucapan-ucapan yang tidak pernah aku katakan dan kebanyakan tidak terlintas sama sekali di hatiku.
Diantaranya : ucapan Sulaiman bahwa saya menganggap sesat semua kitab madzhab empat, bahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar. Saya mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari taqlid.
Perbedaan para ulama adalah malapetaka dan saya mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, dan saya mengkafirkan Imam Al-Bushoiri karena ucapannya: Wahai Makhluk paling mulia.
Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam maka saya akan melakukannya dan jika mampu mengambil talang Ka’bah yang terbuat dari emas maka saya akan menggantinya dengan talang kayu. Saya mengharamkan ziarah ke makam Nabi shollallaah ‘alaih wa sallam, mengingkari ziarah ke makam kedua orang tua dan makam orang lain, saya mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah, mengkafirkan Ibnu Faridl dan Ibnu ‘Araby, dan bahwasanya saya membakar kitab Dalailul Khairaat dan Raudlul Rayaahin yang kemudian saya namakan Raudlul Syayaathiin.

Jawaban saya atas tuduhan telah mengucapkan perkataan-perkataan di atas adalah firman Allah yang artinya: “Maha suci Engkau ( ya Tuhan kami ), ini adalah Dusta yang besar.” ( Q.S.An.Nuur : 16 )
Sebelum apa yang saya alami terjadi, peristiwa mirip pernah dialami Nabi shollallaah ‘alaih wa sallam, beliau dituduh telah memaki Isa ibn Maryam dan orang-orang shalih. Hati mereka yang melakukan perbuatan terkutuk ini sama persis sebab menciptakan kebohongan dan ucapan palsu. Allah berfirman :

إنَّمَا يَفْتَرِى الْكَذِبَ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِآيَاتِ الله

“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah.” ( Q.S.An.Nahl : 105 )
Kafir Quraisy melontarkan tuduhan palsu bahwa Nabi shollallaah ‘alaih wa sallam mengatakan bahwa Malaikat, Isa dan ‘Uzair berada di neraka. Lalu Allah menurunkan firman-Nya :

إن الذين سبقت لهم منا الحسنى أولئك عنها مبعدون

“Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, Mereka itu dijauhkan dari neraka.”( Q.S.Al.Anbiyaa` : 101 )

RISALAH PENTING LAIN KARYA SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB DALAM MASALAH PENTAKFIRAN

Risalah ini dikirimkan kepada Al-Suwaidi, seorang ulama Iraq. Sebelumnya Al-Suwaidi mengirimkan buku dan menanyakan mengenai apa yang diperbincangkan masyarakat. Kemudian Syaikh menjawab dalam risalahnya:
Tersebarnya kebohongan adalah hal yang membuat orang yang berakal merasa malu untuk menceritakannya apalagi untuk membuat-buat hal-hal yang tidak ada faktanya. Sebagian dari apa yang kalian katakan adalah bahwasanya saya mengkafirkan semua orang kecuali mereka yang mengikutiku. Sungguh aneh, bagaimana mungkin kebohongan ini masuk ke akal orang yang berakal? Dan bagaimana mungkin seorang muslim akan melontarkan ucapan demikian?
Dan apa yang kalian katakan: Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Nabi shollallaah ‘alaih wa sallam niscaya saya akan merealisasikannya, membakar dalailul khairaat jika mampu dan melarang bersholawat kepada Nabi dengan ungkapan sholawat apapun. Perkataan-perkataan ini dikategorikan kebohongan. Dalam hati seorang muslim tidak terbersit dalam hatinya sesuatu yang lebih agung melebihi Kitabullah (Al-Qur’an).

Pada halaman 64 dari kitab yang sama Syaikh berkata : Apa yang kalian katakan bahwa saya telah mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, mengkafirkan Bushoiri karena ungkapannya: Wahai makhluk paling mulia, mengingkari diperkenankannya ziarah kubur Nabi shollallaah ‘alaih wa sallam, kuburan kedua orang tua dan kuburan-kuburan orang lain serta mengkafirkan orang yang bersumpah menggunakan nama selain Allah, maka jawaban saya atas semua tuduhan ini adalah Firman Allah yang Artinya: “Maha suci Engkau ( ya Tuhan kami ), ini adalah Dusta yang besar.”( Q.S.An.Nuur : 16 )

MEMAKI ORANG ISLAM ADALAH TINDAKAN FASIQ, DAN MEMERANGINYA ADALAH TINDAKAN KUFUR

Ketahuilah bahwa membenci, memboikot dan berseberangan dengan kaum muslimin adalah haram, memaki orang Islam adalah tindakan fasiq dan memeranginya adalah tindakan kufur jika menilai tindakan tersebut adalah halal.
Kisah mengenai Khalid ibn Walid bersama pasukannya ketika menuju Bani Jadzimah untuk mengajak mereka masuk Islam cukup digunakan untuk menolak pemahaman harfiah ( literal ) dari judul di atas. Saat Khalid tiba di tempat mereka, mereka menyambutnya. Lalu Khalid mengeluarkan instruksi, “Peluklah agama Islam!”. “ Kami adalah kaum muslimin,” Jawab mereka. “ Letakkan senjata kalian dan turunlah.” Lanjut Khalid. “Tidak, demi Allah. Karena setelah senjata diletakkan pasti ada pembunuhan. Kami tidak bisa mempercayai kamu dan orang-orang yang bersama kamu.” Jawab mereka kembali. “Tidak ada perlindungan buat kalian kecuali jika kalian mau turun,” Kata Khalid. Akhirnya sebagian kaum menuruti perintah Khalid dan sisanya tercerai berai.
Dalam riwayat lain redaksinya sebagai berikut: Ketika Khalid tiba bertemu mereka, mereka menyambutnya. Lalu Khalid bertanya, “Siapakah kalian? Apakah kaum muslimin atau kaum kafir?”. “Kami adalah kaum muslimin yang menjalankan sholat, membenarkan Muhammad, membangun masjid di tanah lapang kami dan mengumandangkan adzan di dalamnya.” Jawab mereka. Dalam lafadz hadits, mereka tidak bisa mengucapkan Aslamnaa , akhirnya mereka mengatakan Shoba’naa Shoba’naa. “ Buat apa senjata yang kalian bawa?, tanya Khalid. “Ada permusuhan antara kami dan sebuah kaum Arab. Oleh karena itu kami khawatir kalian adalah mereka hingga kami pun membawa senjata.” Jawab mereka. “ Letakkan senjata kalian!” Perintah Khalid. Mereka pun mengikuti perintah Khalid untuk meletakkan senjata. “Menyerahlah kalian semua sebagai tawanan!” Lanjut Khalid. Kemudian Khalid menyuruh sebagian dari kaum untuk mengikat sebagian yang lain dan membagikan mereka kepada pasukannya.
Ketika tiba waktu pagi, juru bicara Khalid berteriak : “Siapapun yang memiliki tawanan bunuhlah ia!”. Maka Banu Sulaim membunuh tawanan mereka. Namun kaum Muhajirin dan Anshor menolak perintah ini. Mereka malah melepaskan para tawanan. Ketika tindakan Khalid ini sampai kepada Nabi shollallaah ‘alaih wa sallam, beliau berkata, “ Ya Allah, saya tidak bertanggung jawab atas tindakan Khalid.” Beliau mengulang ucapan ini dua kali.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa Khalid mengira mereka mengatakan Shoba’naa Shoba’naa dengan angkuh dan menolak tunduk kepada Islam. Hanya saja yang disesalkan Rasulullah adalah ketergesa-gesaan dan ketidak hati-hatiannya dalam menangani kasus ini sebelum mengetahui terlebih dulu apa yang dimaksud dengan Shoba’naa Shoba’naa. Nabi shollallaah ‘alaih wa sallam sendiri pernah mengatakan :

نعم عبد الله أخو العشيرة خالد بن الوليد من سيوف الله سله الله على الكافرين والمنافقين

“ Sebaik-baik hamba Allah adalah saudara kabilah Quraisy; Khalid ibn Walid, salah satu pedang Allah yang terhunus untuk menghancurkan orang-orang kafir dan munafik”.

Persis seperti apa yang dialami Khalid adalah peristiwa yang menimpa Usamah ibn Zaid kekasih dan putra kekasih Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abi Dzibyan. Abi Dzibyan berkata, “Saya mendengar Usamah ibn Zaid berkata, “Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam mengirim kami ke desa Al-Huraqah. Kemudian kami menyerang mereka di waktu pagi dan berhasil mengalahkan mereka. Saya dan seorang laki-laki Anshar mengejar seorang laki-laki Bani Dzibyan.
Ketika kami berdua telah mengepungnya tiba-tiba ia berkata, “La Ilaaha illallah”. Ucapan laki-laki ini membuat temanku orang Anshor mengurungkan niat untuk membunuhnya namun saya menikamnya dan diapun mati. Ketika kami tiba kembali di Madinah, Nabi shollallaah ‘alaih wa sallam telah mendengar informasi tentang tindakan pembunuhan yang saya lakukan. Beliau pun berkata, “ Wahai Usamah! Mengapa engkau membunuhnya setelah dia mengatakan La Ilaaha illallah?” “Dia hanya berpura-pura,” Jawabku. Nabi mengucapkan pertanyaannya berulang-ulang sampai-sampai saya berharap baru masuk Islam pada hari tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam berkata kepada Usamah, “Mengapa tidak engkau robek saja hatinya agar kamu tahu apakah dia sungguh-sungguh atau berpura-pura?”. “Saya tidak akan pernah lagi membunuh siapapun yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”. Kata Usamah.

Sayyidina Ali radhiyallaah ‘anhu pernah ditanya mengenai kelompok-kelompok yang menentangnya, “Apakah mereka kafir ?”. “Tidak,” jawab Ali, “Mereka adalah orang-orang yang menjauhi kekufuran”. “Apakah mereka kaum munafik ?”. “Bukan, orang-orang munafik hanya sekelebat mengingat Allah sedang mereka banyak mengingat Allah”. “Terus siapakah mereka ?” Ali kembali ditanya. “Mereka adalah kaum yang terkena fitnah yang mengakibatkan mereka buta dan tuli”,  jawab Ali.

Semoga bermanfaat.
Sumber  https://jundumuhammad.wordpress.com