ASPEK-ASPEK YANG SAMA ANTARA STATUS KHALIQ DAN MAKHLUQ TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KESUCIAN ALLAH
Banyak orang keliru dalam memahami
sebagian aspek-aspek yang sama antara status Khaliq dan makhluq. Mereka
menganggap bahwa menisbatkan aspek-aspek di atas kepada status makhluk
adalah menyekutukan Allah.
Diantara aspek-aspek di atas adalah
seperti sifat-sifat khusus kenabian yang salah dipahami oleh sebagaian
orang dan menganalogikannya dengan analogi kemanusiaan. Karena itu
mereka menilai terlalu berlebihan bila aspek-aspek tersebut disandarkan
kepada Rasulullah. Mereka menilai bahwa menisbatkan aspek-aspek itu
kepada Rasulullah berarti mensifati beliau dengan sebagian sifat-sifat
ketuhanan.
Pandangan ini adalah sebuah kebodohan
murni. Karena Allah Subhaanahu wa ta’aala bebas memberi siapa saja dan
sesuai kehendak-Nya tanpa ada tekanan yang mengharuskan. Tapi
semata-mata karunia-Nya kepada orang yang hendak Dia muliakan, Dia
tinggikan derajat dan hendak ditonjolkan kelebihannya atas orang lain.
Hal ini bukan berarti melepas hak-hak dan sifat-sifat ketuhanan. Hak-hak
sifat-sifat ketuhanan tetap terpelihara sesuai dengan kedudukan Allah
Subhaanahu wa ta’aala. Jika ada makhluk yang memiliki salah satu dari
hak atau sifat ketuhanan maka harus disesuaikan dengan kondisi
kemanusiaan, yaitu harus terbatasi dan diperoleh lewat izin, anugerah,
dan kehendak Allah. Bukan karena kekuatan makhluk, rencana dan
perintahnya. Karena manusia adalah makhluk lemah yang tidak mampu
menimpakan bahaya, memberi manfaat, kematian , kehidupan dan kebangkitan
dari kubur untuk dirinya sendiri. Banyak hal-hal yang dalil yang
menunjukkanya sebagai hak Allah, namun Allah Subhaanahu wa ta’aala
memberikannya kepada Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam dan orang lain.
Berangkat dari penjelasan di atas,
pensifatan Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam dengan hal-hal di atas
tidak meninggikannya sampai ke derajat ketuhanan atau menjadikan beliau
sebagai sekutu bagi Allah Subhaanahu wa ta’aala. Di antara aspek-aspek
di atas adalah : Syafaat; syafaat adalah milik Allah. Allah berfirman
yang Artinya : Katakanlah: “Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.”
( Q.S.Az.Zumar : 44 )
Namun syafaat juga dimiliki oleh Rasul Shollallaah ‘alaih wa sallam
dan orang lain atas kehendak Allah seperti terdapat dalam sebuah hadits :
أنا أول شافع ومشفع
“Saya dikaruniai syafaat, dan Saya adalah orang pertama yang memberi syafaat dan diterima syafaatnya.”
Mengetahui hal-hal ghaib adalah milik
Allah. Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang
mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”.( Q.S.An.Naml : 65 )
Namun terdapat dalil yang menunjukkan
Allah menginformasikan kepada Nabi hal-hal gaib: 26. (dia adalah Tuhan)
yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada
seorangpun tentang yang ghaib itu.27.
Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya Dia
Mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.
Hidayah; hidayah khusus
milik Allah. Allah berfirman yang artinya :Sesungguhnya kamu tidak akan
dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. ( Q.S.Al.Qashash : 56
)
Tapi terdapat ayat yang menjelaskan bahwa Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam juga bisa memberi hidayah. Allah berfirman :
وإنك لتهدى إلى صراط مستقيم
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. “( Q.S.Asy Syuura : 52 )
Hidayah yang terdapat dalam ayat pertama
berbeda dengan hidayah dalam ayat kedua. Perbedaan ini hanya dapat
dipahami oleh kaum mu’minin yang memiliki kemampuan berfikir yang baik
yang mampu membedakan status Khaliq dan makhluk. Jika pengertian hidayah
disamakan niscaya Allah perlu mengatakan “Sesungguhnya engkau memberi
hidayah yang berupa bimbingan, atau sesungguhnya engkau memberi hidayah
tapi bukan seperti hidayah-Ku.”
Tapi kedua ungkapan ini tidak terdapat
dalam Al-Qur’an. Malah Allah membiarkan lafadz hidayah tanpa keterangan
apapun. Karena orang yang mengesakan Allah dari kaum muslimin bisa
memahami kata-kata dan mengerti perbedaan indikasi dari kata-kata
tersebut menyangkut apa yang disandarkan kepada Allah dan Rasulullah
Shollallaah ‘alaih wa sallam. Masalah ini sama dengan apa yang terdapat
dalam Al-Qur’an yang memberi sifat Rasul dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah
saat Allah berfirman yang Artinya: Amat belas kasihan lagi Penyayang
terhadap orang-orang mukmin. Dan Allah Subhaanahu wa ta’aala juga
mensifati diri-Nya dengan dua sifat di atas dalam banyak ayat.
Sudah umum diketahui bahwa Al-Ra’fah dan
Al-Rahmah dalam ayat kedua berbeda arti dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah
dalam ayat pertama. Waktu Allah mensifati Nabi-Nya dengan kedua sifat
tersebut Dia mensifatinya tanpa embel-embel apapun. Karena orang yang
dikhithabi yang seorang mu’min yang mengesakan Allah mengerti perbedaan
antara Khaliq dan makhluk.
Seandainya tidak demikian, Allah perlu
mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah yang berbeda dengan ra’fah-Ku, dan
rahiim dengan rahmat yang berbeda dengan rahmat-Ku, atau mengatakan
Ra’uuf dengan rahmat tertentu dan Rahiim dengan rahmat tertentu, atau
bisa juga mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah kemanusiaan dan rahiim dengan
rahmat kemanusiaan.
Namun semua ini ternyata tidak ada. Malah Allah memberi Nabi sifat ra’fah dan rahmat tanpa menambahkan penjelasan apapun.
Semoga bermanfaat.