Saturday 13 February 2016


A. Latar Belakang dan Sejarah Berdirinya Posko Rijalussholih Kalijaga Barisan Hizbullah Nahdlatul Wathan

Pasca wafatnya TGH. Muhammad Shaleh Ahmad, pendiri Pondok Pesantren Darussholihin NW Kalijaga Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur dan Rois ‘Am Dewan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW) tanggal 2 Syawwal 1432 H/2 Agustus 2011 M, situasi dan kondisi masyarakat di lingkungan Pondok Pesantren Darussholihin NW khususnya masyarakat Desa Kalijaga tidak menentu dalam mempertahankan kekompakan dan kebersamaan. Hal ini terjadi karena masyarakat kurang mendapatkan pencerahan dan arahan. Padahal semasa hayat beliau, Kalijaga terkenal dengan masyarakatnya yang loyal dan menjunjung tinggi semangat kebersamaan dan gotong royong. Desa Kalijaga juga

Saturday 7 March 2015

KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHAHHAH
(Paham-paham yang Harus Diluruskan)
Oleh:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki
 

 
Dalil yang menunjukkan diperbolehkan menisbatkan hal-hal di muka dan relevansinya adalah bahwa Allah Subhaanahu wa ta’aala sendiri kadang menisbatkan tindakan kepada para malaikat dan terkadang kepada yang lain dan terkadang menisbatkannya kepada diri-Nya sendiri. 
Allah SWT berfirman yang artinya :
Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk ( mencabut nyawa )mu akan mematikanmu.” ( Q.S. As-Sajdah : 11 )
“Allah memegang jiwa ( seseorang ) ketika matinya.” ( Q.S. Az-Zumar :42 )
“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam.” ( Q.S. Al-Waqi`ah : 63 ) dengan dinisbatkan kepada mereka: 25. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit),
26. Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya,
27. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu. ( Q.S.`Abasa : 25-27 )
“Lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.” (Q.S. Maryam : 17)
” Lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh) nya ruh dari Kami dan Kami jadikan Dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiyaa` : 91).  Nafkh (tiupan) disandarkan kepada Allah padahal yang meniup sesungguhnya adalah Jibril alaihissalaam.
Allah berfirman yang Artinya: “Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”  (Q.S.Al.Qiyaamah : 18) padahal pembaca Al-Qur’an yang didengar bacaannya oleh Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam adalah Jibril ‘alaihissalaam.

Allah Subhaanahu wa ta’aala berfirman yang artinya :
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (Q.S. Al-Anfaal : 17) Allah meniadakan tindakan pembunuhan dari mereka dan menetapkan tindakan itu kepada diri-Nya dan menafikan tindakan pelemparan darinya lalu menyandarkannya kepada diri-Nya.
Maksud dari ayat bukan berarti menafikan fakta kasat mata tindakan mereka membunuh orang-orang kafir dan menafikan tindakan Nabi melempari mereka dengan kerikil. Namun maksudnya adalah bahwa mereka tidak membunuh dan melempar dalam pengertian sebagaimana Allah membunuh dan melempar yaitu penciptaan dan kepastian. Sebab kedua pengertian ini adalah dua makna yang memiliki arti berbeda.
Insya’ Alloh bersambung. Semoga bermanfaat.
 
Sumber : https://jundumuhammad.wordpress.com
KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHAHHAH
(Paham-paham yang Harus Diluruskan)
Oleh:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki




PERBEDAAN ARTI AKIBAT PERBEDAAAN NISBAT LAFADH

Barangkali Anda berkata : Tidaklah rasional menisbatkan satu tindakan kepada dua pelaku karena mustahil berkumpulnya dua hal yang mampu memberikan pengaruh kepada satu obyek yang terkena pengaruh. Kami jawab, “Benar pandangan kalian. Namun konteksnya jika pelaku hanya memiliki satu pengertian dalam penggunaannya”.
Tapi jika pelaku memiliki dua pengertian maka kalimat tersebut ada kemungkinan digunakan untuk salah satunya. Kalau demikian tidak boleh kalimat itu digunakan untuk kedua-duanya sebagaimana telah diketahui dalam penggunaan kalimat yang memiliki lebih dari satu pengertian (musytarak /ambigu) atau hakikat dan majaz sebagaimana ungkapan: Pemimpin membunuh si fulan dan ungkapan: Si fulan dibunuh oleh algojo. Kata membunuh yang dinisbatkan kepada pemimpin memiliki pengertian yang berbeda dengan kata yang sama yang dinisbatkan kepada algojo. Maka ungkapan kita: Allah adalah pelaku dengan pengertian Dia adalah pencipta yang membuat sesuatu menjadi ada, dan ungkapan kita: Sesungguhnya makhluk adalah pelaku, artinya adalah bahwa makhluk adalah obyek yang Allah ciptakan padanya kemampuan setelah menciptakan padanya kehendak dan pengetahuan.
 
Maka berarti hubungan qudrah dengan iradah serta gerakan dengan qudrah adalah hubungan kausalitas dan yang diciptakan dengan yang menciptakan. Hubungan semacam ini berlaku jika obyeknya adalah makhluk berakal. Namun jika tidak berakal ia termasuk kategori mengaitkan yang di-sebab-i atas yang menjadi penyebab.
Berarti sah-sah saja menyebut setiap hal yang memiliki kaitan dengan qudrah sebagai Fa’il (pelaku) bagaimanapun bentuk kaitannya. Sebagaimana algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh dengan memandang dari sudut masing-masing. Karena pembunuhan berkaitan dengan keduanya. Meskipun pembunuhan dilihat dari dua sisi pandang berbeda namun masing-masing algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh. Demikian pula dalam hal menilai obyek-obyek dari qudrat dengan dua qudrat.
Keterangan:
Sub bab PERBEDAAN ARTI AKIBAT PERBEDAAAN NISBAT LAFADH ini cukup panjang, maka dari itu saya mohon maaf kalau tulisannya saya bagi, dengan harapan memudahkan di dalam menangkap maksudnya.
Semoga Bermanfaat..

KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHAHHAH
(Paham-paham yang Harus Diluruskan)
Oleh:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki
 

ESENSI MENISBATKAN TINDAKAN KEPADA PARA HAMBA

Berangkat dari keterkaitan qudrah di atas jelaslah bahwa keterkaitan qudrah tidak hanya dengan terjadinya al-maqdur lewat sifat ini. Hubungan tindakan makhluk dengan mereka sendiri dengan cara mengerjakan bukan penciptaan. Karena Allah yang menciptakan, mentakdirkan dan menghendakinya. Tidak perlu dipersoalkan bagaimana Allah menghendaki apa yang Dia larang, karena perintah berbeda dengan kehendak dengan bukti Allah menyuruh semua manusia untuk beriman namun Allah tidak menghendaki semuanya beriman. Hal ini berdasarkan firman Allah yang artinya : “Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya.” ( Q.S.Yusuf : 103 ) 
 
Penisbatan tindakan kepada makhluk masuk kategori penisbatan musabbab (Obyek yang terkena pengaruh sebab) kepada sabab (penyebab) atau wasithah (perantara). Hal ini bukanlah sebuah kontradiksi karena yang menjadi penyebab dari segala sebab adalah pencipta washithah yang menciptakan makna keperantaraan kepada washithah. Seandainya Allah tidak memberi makna keperantaraan terhadap segala sebab maka segala sebab itu tidak layak menjadi washithah baik sebab yang tidak diberi akal oleh Allah seperti benda mati, cakrawala, hujan dan api atau sebab yang berakal seperti malaikat, manusia, atau jin.
Semoga bermanfaat.

 

KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHAHHAH
(Paham-paham yang Harus Diluruskan)
Oleh:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki
 

URGENSI MENETAPKAN KAITAN (NISBAT) DALAM MENETAPKAN BATASAN KUFUR DAN IMAN

Beberapa kelompok sesat hanya menggunakan pendekatan tekstual tanpa melibatkan indikasi-indikasi dan tujuan-tujuan serta tidak menggunakan titik temu yang bisa menghindari kontradiksi antar dalil-dalil yang ada seperti kelompok yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dengan menggunakan argumentasi firman Allah yang artinya :
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab.”( Q.S.Az.Zukhruuf : 3 ), 
kelompok Qadariyyah  yang menggunakan ayat yang Artinya :
“Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.”( Q.S.As.Syuuraa : 20 )
dan ayat:

بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Apa yang telah kamu kerjakan.”( Q.S.Yunus : 23 )
Kelompok Jabariyah yang berpegang teguh dengan ayat :

وَالله خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Q.S.Ash.Shaaffaat : 96)

وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلكِن الله رَمَى

“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.”( Q.S.Al.Anfaal : 17 )
Untuk menyingkap maksud dari firman Allah di muka bahwa sesungguhnya semua kelompok ummat Islam diluar kelompok Qadariyyah meyakini bahwa semua tindakan para hamba adalah diciptakan Allah Subhaanahu wa ta’aala berdasarkan ayat والله خلقكم وما تعملون dan ayat وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى meskipun tindakan itu bisa dilekatkan kepada hamba dengan menggunakan pendekatan lain yang disebut iktisab (bekerja)  seperti dalam firman Allah :

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

“Ia mendapat pahala ( dari kebajikan ) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa ( dari kejahatan ) yang dikerjakannya.”( Q.S.Al.Baqarah : 286 )
dan firman Allah Subhaanahu wa ta’aala:
“Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.”( Q.S.As.Syuuraa : 20 )
dan ayat-ayat lain yang menunjukkan penyandaran kerja kepada hamba.
 
Keterkaitan qudrah dengan almaqdur ( obyek dari sifat qudrah ) tidak harus melalui penciptaan semata karena qudrah Allah pada masa azali berkaitan dengan alam sebelum Allah menciptakannya. Dan qudrah Allah ketika menciptakan alam berkaitan dengan alam dalam corak keterkaitan lain.
Semoga bermanfaat. 

KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHAHHAH
(Paham-paham yang Harus Diluruskan)
Oleh:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki
 

MAJAZ ‘AQLI DAN PENGGUNAANNYA

Tidak disangsikan lagi bahwa majaz ‘aqli digunakan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Diantaranya yang artinya: “Dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya).” ( Q.S.Al.Anfaal : 2 )Penyandaran kalimat ziyadah ke kalimat aayaat adalah majaz ‘aqli. Karena ayat adalah penyebab bertambah sedang yang menambah sesungguhnya adalah Allah Subhaanahu wa ta’aala.

Allah Subhaanahu wa ta’aala  berfirman:
“Hari yang menjadikan anak-anak beruban.” ( Q.S.Al.Muzzammil :17 )
Penyandaran kata Ja’ala pada pada alyaum adalah majaz ‘aqli. Karena Al-Yaum adalah tempat mereka menjadi beruban. Kejadian tersebut tercipta pada Al-Yaum sedang yang menjadikan sesungguhnya adalah Allah Subhaanahu wa ta’aala.
Firman Allah Subhaanahu wa ta’aala:
“Dan jangan pula suwwa`, yaghuts, ya`uq dan nasr. Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan ( manusia ).”( Q.S.Nuh : 23-24 )
Penyandaran Idlal pada Ashnam adalah majaz ‘aqli karena ashnam adalah penyebab terjadinya idlal sedang yang memberi petunjuk dan yang menyesatkan hakikatnya Allah Subhaanahu wa ta’aala semata.
Firman Allah mengisahkan Fir’aun yang artinya : “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang Tinggi.” (Q.S.Al-Mu`min : 36)
Penyandaran Al-Binaa kepada Haman adalah majaz ‘aqli karena Haman cuma penyebab. Ia hanya pemberi perintah tidak membangun sendiri. Yang membangun adalah para pekerja.
 
Adapun keberadaaan majaz ‘aqli dalam hadits maka di dalamnya terdapat jumlah yang banyak yang diketahui oleh orang yang mau mengkajinya. Para ulama berkata : Terlontarnya penyandaran di atas dari orang yang mengesakan Allah cukup menjadikannya dikategorikan sebagai penyandaran majazi karena keyakinan yang benar adalah bahwa pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka adalah Allah semata. Allah adalah pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka. Tidak ada yang bisa memberikan pengaruh kecuali Allah. Orang hidup atau orang mati tidak bisa memberi pengaruh apapun. Keyakinan semacam ini adalah tauhid yang murni. Berbeda kalau memiliki keyakinan yang berlawanan. Maka ia bisa jatuh dalam kemusyrikan.
Semoga bermanfaat.


 
KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHAHHAH
(Paham-paham yang Harus Diluruskan)
Oleh:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki
 

ASPEK-ASPEK YANG SAMA ANTARA STATUS KHALIQ DAN MAKHLUQ TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KESUCIAN ALLAH

Banyak orang keliru dalam memahami sebagian aspek-aspek yang sama antara status Khaliq dan makhluq. Mereka menganggap bahwa menisbatkan aspek-aspek di atas kepada status makhluk adalah menyekutukan Allah.

Diantara aspek-aspek di atas adalah seperti sifat-sifat khusus kenabian yang salah dipahami oleh sebagaian orang dan menganalogikannya dengan analogi kemanusiaan. Karena itu mereka menilai terlalu berlebihan bila aspek-aspek tersebut disandarkan kepada Rasulullah. Mereka menilai bahwa menisbatkan aspek-aspek itu kepada Rasulullah berarti mensifati beliau dengan sebagian sifat-sifat ketuhanan.
Pandangan ini adalah sebuah kebodohan murni. Karena Allah Subhaanahu wa ta’aala bebas memberi siapa saja dan sesuai kehendak-Nya tanpa ada tekanan yang mengharuskan. Tapi semata-mata karunia-Nya kepada orang yang hendak Dia muliakan, Dia tinggikan derajat dan hendak ditonjolkan kelebihannya atas orang lain. Hal ini bukan berarti melepas hak-hak dan sifat-sifat ketuhanan. Hak-hak sifat-sifat ketuhanan tetap terpelihara sesuai dengan kedudukan Allah Subhaanahu wa ta’aala. Jika ada makhluk yang memiliki salah satu dari hak atau sifat ketuhanan maka harus disesuaikan dengan kondisi kemanusiaan, yaitu harus terbatasi dan diperoleh lewat izin, anugerah, dan kehendak Allah. Bukan karena kekuatan makhluk, rencana dan perintahnya. Karena manusia adalah makhluk lemah yang tidak mampu menimpakan bahaya, memberi manfaat, kematian , kehidupan dan kebangkitan dari kubur untuk dirinya sendiri. Banyak hal-hal yang dalil yang menunjukkanya sebagai hak Allah, namun Allah Subhaanahu wa ta’aala memberikannya kepada Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam dan orang lain.
Berangkat dari penjelasan di atas, pensifatan Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam dengan hal-hal di atas tidak meninggikannya sampai ke derajat ketuhanan atau menjadikan beliau sebagai sekutu bagi Allah Subhaanahu wa ta’aala. Di antara aspek-aspek di atas adalah : Syafaat; syafaat adalah milik Allah. Allah berfirman yang Artinya : Katakanlah: “Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.” ( Q.S.Az.Zumar : 44 )
Namun syafaat juga dimiliki oleh Rasul Shollallaah ‘alaih wa sallam dan orang lain atas kehendak Allah seperti terdapat dalam sebuah hadits :

أنا أول شافع ومشفع

“Saya dikaruniai syafaat, dan Saya adalah orang pertama yang memberi syafaat dan diterima syafaatnya.”
Mengetahui hal-hal ghaib adalah milik Allah. Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”.( Q.S.An.Naml : 65 )
Namun terdapat dalil yang menunjukkan Allah menginformasikan kepada Nabi hal-hal gaib: 26. (dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.27. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya Dia Mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.
Hidayah; hidayah khusus milik Allah. Allah berfirman yang artinya :Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. ( Q.S.Al.Qashash : 56 )
Tapi terdapat ayat yang menjelaskan bahwa Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam  juga bisa memberi hidayah. Allah berfirman :

وإنك لتهدى إلى صراط مستقيم

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. “( Q.S.Asy Syuura : 52 )

Hidayah yang terdapat dalam ayat pertama berbeda dengan hidayah dalam ayat kedua. Perbedaan ini hanya dapat dipahami oleh kaum mu’minin yang memiliki kemampuan berfikir yang baik yang mampu membedakan status Khaliq dan makhluk. Jika pengertian hidayah disamakan niscaya Allah perlu mengatakan “Sesungguhnya engkau memberi hidayah yang berupa bimbingan, atau sesungguhnya engkau memberi hidayah tapi bukan seperti hidayah-Ku.”
Tapi kedua ungkapan ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Malah Allah membiarkan lafadz hidayah tanpa keterangan apapun. Karena orang yang mengesakan Allah dari kaum muslimin bisa memahami kata-kata dan mengerti perbedaan indikasi dari kata-kata tersebut menyangkut apa yang disandarkan kepada Allah dan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam. Masalah ini sama dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an yang memberi sifat Rasul dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah saat Allah berfirman yang Artinya: Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. Dan Allah Subhaanahu wa ta’aala  juga mensifati diri-Nya dengan dua sifat di atas dalam banyak ayat.
Sudah umum diketahui bahwa Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat kedua berbeda arti dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat pertama. Waktu Allah mensifati Nabi-Nya dengan kedua sifat tersebut Dia mensifatinya tanpa embel-embel apapun. Karena orang yang dikhithabi yang seorang mu’min yang mengesakan Allah mengerti perbedaan antara Khaliq dan makhluk.
Seandainya tidak demikian, Allah perlu mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah yang berbeda dengan ra’fah-Ku, dan rahiim dengan rahmat yang berbeda dengan rahmat-Ku, atau mengatakan Ra’uuf dengan rahmat tertentu dan Rahiim dengan rahmat tertentu, atau bisa juga mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah kemanusiaan dan rahiim dengan rahmat kemanusiaan.
Namun semua ini ternyata tidak ada. Malah Allah memberi Nabi sifat ra’fah dan rahmat tanpa menambahkan penjelasan apapun.
Semoga bermanfaat.