Saturday 7 March 2015

KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHAHHAH
(Paham-paham yang Harus Diluruskan)
Oleh:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki
 

ASPEK-ASPEK YANG SAMA ANTARA STATUS KHALIQ DAN MAKHLUQ TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KESUCIAN ALLAH

Banyak orang keliru dalam memahami sebagian aspek-aspek yang sama antara status Khaliq dan makhluq. Mereka menganggap bahwa menisbatkan aspek-aspek di atas kepada status makhluk adalah menyekutukan Allah.

Diantara aspek-aspek di atas adalah seperti sifat-sifat khusus kenabian yang salah dipahami oleh sebagaian orang dan menganalogikannya dengan analogi kemanusiaan. Karena itu mereka menilai terlalu berlebihan bila aspek-aspek tersebut disandarkan kepada Rasulullah. Mereka menilai bahwa menisbatkan aspek-aspek itu kepada Rasulullah berarti mensifati beliau dengan sebagian sifat-sifat ketuhanan.
Pandangan ini adalah sebuah kebodohan murni. Karena Allah Subhaanahu wa ta’aala bebas memberi siapa saja dan sesuai kehendak-Nya tanpa ada tekanan yang mengharuskan. Tapi semata-mata karunia-Nya kepada orang yang hendak Dia muliakan, Dia tinggikan derajat dan hendak ditonjolkan kelebihannya atas orang lain. Hal ini bukan berarti melepas hak-hak dan sifat-sifat ketuhanan. Hak-hak sifat-sifat ketuhanan tetap terpelihara sesuai dengan kedudukan Allah Subhaanahu wa ta’aala. Jika ada makhluk yang memiliki salah satu dari hak atau sifat ketuhanan maka harus disesuaikan dengan kondisi kemanusiaan, yaitu harus terbatasi dan diperoleh lewat izin, anugerah, dan kehendak Allah. Bukan karena kekuatan makhluk, rencana dan perintahnya. Karena manusia adalah makhluk lemah yang tidak mampu menimpakan bahaya, memberi manfaat, kematian , kehidupan dan kebangkitan dari kubur untuk dirinya sendiri. Banyak hal-hal yang dalil yang menunjukkanya sebagai hak Allah, namun Allah Subhaanahu wa ta’aala memberikannya kepada Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam dan orang lain.
Berangkat dari penjelasan di atas, pensifatan Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam dengan hal-hal di atas tidak meninggikannya sampai ke derajat ketuhanan atau menjadikan beliau sebagai sekutu bagi Allah Subhaanahu wa ta’aala. Di antara aspek-aspek di atas adalah : Syafaat; syafaat adalah milik Allah. Allah berfirman yang Artinya : Katakanlah: “Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.” ( Q.S.Az.Zumar : 44 )
Namun syafaat juga dimiliki oleh Rasul Shollallaah ‘alaih wa sallam dan orang lain atas kehendak Allah seperti terdapat dalam sebuah hadits :

أنا أول شافع ومشفع

“Saya dikaruniai syafaat, dan Saya adalah orang pertama yang memberi syafaat dan diterima syafaatnya.”
Mengetahui hal-hal ghaib adalah milik Allah. Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”.( Q.S.An.Naml : 65 )
Namun terdapat dalil yang menunjukkan Allah menginformasikan kepada Nabi hal-hal gaib: 26. (dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.27. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya Dia Mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.
Hidayah; hidayah khusus milik Allah. Allah berfirman yang artinya :Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. ( Q.S.Al.Qashash : 56 )
Tapi terdapat ayat yang menjelaskan bahwa Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam  juga bisa memberi hidayah. Allah berfirman :

وإنك لتهدى إلى صراط مستقيم

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. “( Q.S.Asy Syuura : 52 )

Hidayah yang terdapat dalam ayat pertama berbeda dengan hidayah dalam ayat kedua. Perbedaan ini hanya dapat dipahami oleh kaum mu’minin yang memiliki kemampuan berfikir yang baik yang mampu membedakan status Khaliq dan makhluk. Jika pengertian hidayah disamakan niscaya Allah perlu mengatakan “Sesungguhnya engkau memberi hidayah yang berupa bimbingan, atau sesungguhnya engkau memberi hidayah tapi bukan seperti hidayah-Ku.”
Tapi kedua ungkapan ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Malah Allah membiarkan lafadz hidayah tanpa keterangan apapun. Karena orang yang mengesakan Allah dari kaum muslimin bisa memahami kata-kata dan mengerti perbedaan indikasi dari kata-kata tersebut menyangkut apa yang disandarkan kepada Allah dan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam. Masalah ini sama dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an yang memberi sifat Rasul dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah saat Allah berfirman yang Artinya: Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. Dan Allah Subhaanahu wa ta’aala  juga mensifati diri-Nya dengan dua sifat di atas dalam banyak ayat.
Sudah umum diketahui bahwa Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat kedua berbeda arti dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat pertama. Waktu Allah mensifati Nabi-Nya dengan kedua sifat tersebut Dia mensifatinya tanpa embel-embel apapun. Karena orang yang dikhithabi yang seorang mu’min yang mengesakan Allah mengerti perbedaan antara Khaliq dan makhluk.
Seandainya tidak demikian, Allah perlu mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah yang berbeda dengan ra’fah-Ku, dan rahiim dengan rahmat yang berbeda dengan rahmat-Ku, atau mengatakan Ra’uuf dengan rahmat tertentu dan Rahiim dengan rahmat tertentu, atau bisa juga mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah kemanusiaan dan rahiim dengan rahmat kemanusiaan.
Namun semua ini ternyata tidak ada. Malah Allah memberi Nabi sifat ra’fah dan rahmat tanpa menambahkan penjelasan apapun.
Semoga bermanfaat.
 
 

0 comments:

Post a Comment